Menjelang subuh
waktu embun sedang menitis membasahkan batu
dan bayu pagi yang menyejukkan
tatkala sang suria membiaskan cahayanya
sinar laut menjadi kemerahan
seakan duka berabad masih belum terpadam
bersama deruan ombak menghempas batuan seakan
dialog durhaka lampau belum terhenti
Sayup-sayup kedengaran dari dermaga batuan
masih terhampar di pantai Airmanis
Ibu, Ibu!
maafkan daku
aku sombong kepadamu, ibu
akulah Malin Kundang anak durhaka
durhaka kepada ibuku
durhaka kepada sanak keluarga
durhaka kepada agamaku
durhaka kepada diriku
durhaka kepada tanah airku
durhaka kepada Rabbku
Bulan yang mulia ini
aku mengakui
kau ibu kandungku
aku akui inilah zuriatmu
takdir Tuhan aku lahir dari rahimmu
kaulah yang menyusuiku, mengasuhku dan membesarkanku
Kau dan leluhurmu yang menyuruhku menjadi perantau
aku dewasa di negeri orang ibu
aku terperangkap dengan duniawi, ibu
Wahai tetamu pantai
inilah aku yang berubah menjadi batu
aku bersujud di dermaga ini
tanda aku bukan manusia sombong
aku ingin menjadi tanah seperti insan yang lain
takdir Ilahi dikata orang aku durhaka
konon akulah jasad Malin Kundang
aku sendiri tidak tahu
kapan kejadian berlaku
Engkau tidak salah mendidikku, ibu
Engkau tidak salah cara menyayangiku
Engkau tidak salah, ibu
Rantaulah yang menyebabkan aku begini, ibu
Ya, Rabb
ampuni dosa-dosaku
siapa manusia yang tak berdosa, melainkan nabi-nabiMu
aku sudah terseksa
nama Malin Kundang sudah ternoda, ibu
hanyutkan kembali puin-puin bahtera ini
malunya wargaku tersadai di gigi pantai
biarkan hanyut
ke tengah samudera dan biarlah tenggelam di dasar lautan
sungguh, aku malu bernama Malin Kundang
nama Malin Kundang yang durhaka
di sebuah negeri yang dicanang
“adat bersandi syarak; syarak bersandi Kitabullah”.
Oleh:

Sarji Kassim.
Pasir Mas,
2 April 2023
Inspirasi:;
Drama Malin Kundang oleh Dr. Syafril dan Teori Sastra, Malin Kundang Kompleks: Sebuah Pertimbangan oleh Dr. Fadlilah.
TAMAT.