Malam ini adalah malam kasmaran pada puisi, saya berhadapan dengan puisi yang ditulis oleh penyair berdarah Madura, penyair yang dilahirkan di Kabupaten paling timur di Madura yakni Sumenep. Penyair ini telah menerjemahkan sejumlah karya para pengarang dunia seperti Goethe, William Blake, Iqbal, Hafiz, Rumi, Ibnu ‘Arabi, TS Eliot, Octavio Paz, Li Po, dan lain-lain, penyair ini juga memiliki FB dan bisa langsung berkenalan di akun Abdul Hadi WM.

“Tuhan Kita Begitu Dekat” adalah puisi yang sedang saya hadapi malam ini, puisi yang membuat saya berbetah untuk menghentikan laju membaca. Puisi ini ditulis pada tahun 1976, lebih tua dari umur saya sebagai pembaca.

Kalau ditanya karya Abdul Hadi WM yang paling berkesan, saya dengan yakin akan menjawab “Tuhan Kita Begitu Dekat”, apakah yang lain tidak menarik? Tentu menarik namun dalam ketertarikan pasti ada yang lebih menarik, sehingga karya lainnya seakan hilang kemilau bila berhadapan dengan puisi “Tuhan Kita Begitu Dekat”.

Membaca judul puisinya saja nuansa relijinya begitu kental. “Tuhan Kita Begitu Dekat”, barangkali adalah impian, barangkali ketegasan penyair yang lahir dalam pengembaraan batin yang panjang.

JARAK HAMBA DAN TUHAN

Bisakah Tuhan dilihat? Barangkali pertanyaan inilah yang begitu kuat menyergap minda saat saya berhadapan dengan puisi yang ditulis penyair berdarah Madura bernama Abdul Hadi WM.

Saya teringat hadits ‘Arbain Nawawi yang membahas tentang niat yang berbunyi innamal a’malu binniyah fakullum ri’in ma nawa (segala sesuatu tergantung niat maka segalanya akan memperoleh apa yang diniatkan). Jika niatnya mengejar dunia maka yang diperoleh sekedar yang dikejar. Lalu apa hubungannya dengan puisi ini, barangkali puisi ini ditulis untuk lebih mendekatkan diri kepada Ilahi. Bila melihat konsep ihsan maka pada hakekatnya manusia tidak mampu melihat Tuhan sebab Tuhan tak bisa diindera oleh mata yang diberikan Tuhan, maka kita dianjurkan beribadah seolah-olah kita melihat Tuhan.

Ada baiknya kita baca utuh puisi yang ditulis oleh Abdul Hadi WM

Tuhan Kita Begitu Dekat

Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya

Kita begitu dekat

Dalam gelap
kini aku nyala
pada lampu padammu

1976

Barangkali puisi ini lahir sebagai terjemahan dari “Tuhan lebih dekat dari urat nadi” yang kemudian pemahaman tersebut diolah menjadi puisi, barangkali pula terjemahan pemahaman penyair atas konsep ihsan, ini praduga saya selaku pembaca puisi yang puisinya lebih tua dari umur saya. Yang membuat puisi ini istimewa di mata saya adalah letupan kembara batin. Puisi yang bisa dibilang berusia paruh baya namun sanggup memberi debar seumpama menatap perawan.

Inni indza dhonni ‘abdi demikian hadits qudsi berbunyi. Demikian Tuhan mengabarkan secara gamblang posisiNya dalam pandangan hamba-hambaNya. Yang sangat dekat tentu takkan bisa diindera. Tak usah jauh-jauh kita tak pernah menyaksikan telinga kita dengan mata kita padahal sama-sama anggota tubuh. Maka hadits qudsi merupakan tawaran yang diberikan Tuhan.

Wama yuktikum minal ‘ilma illa qolila (dan tidaklah Kuberikan ilmu kepada kalian melainkan sedikit), paling tidak, puisi berusia paruh baya yang ditulis penyair berdarah Madura mengabarkan, sehebat apapun kita, sekaya apapun kita, sekuasa apapun kita, kita masih manusia, hamba yang hanya diberi sedikit ilmu. Pantaskah menepuk dada, saat keberhasilan telah menjadi nafas kehidupan. Atau pantaskah kita menyalahkan Tuhan jika doa kita tak langsung dikabulkan, padahal Tuhan dalam hadits qudsi telah mengabarkan ‘ud’uni astajib lakum (mintalah pada-Ku, niscaya Kukabulkan).

Menerjemahkan Kedekatan Hamba dengan Tuhan

Tuhan lebih dekat dari urat nadi, maka kedekatan Tuhan sangatlah tak bisa diindera. Urat nadi begitu vital dalam kehidupan namun ada yang lebih vital yakni Tuhan. Tuhan selalu ada buat hamba-hambaNya. Tuhan selalu mengabulkan tiap doa hamba, kalaupun tak langsung dikabulkan, berarti masih ada yang salah pada diri kita. Kita harus memaknai kedekatan tersebut sebagai cinta. Kedekatan haruslah diuji agar kedekatan tersebut diketahui. Banjir, tsunami, gempa, longsor merupakan bagian dari kedekatan. Kedekatan yang mulai dilupakan agar diingat kembali.

Saat kekasih merasa sudah bisa mandiri tanpa kekasih haqiqi maka kedekatanpun diuji. Datanglah tsunami biar terjaringlah kekasih yang tak lupa kekasih-Nya. Diberikan bencana lalu diberikan pula keajaiban agar bisa membaca tanda cinta.

“Tuhan Kita Begitu Dekat” adalah upaya penyair dalam memantapkan yakin. Bisa menjadi cemeti untuk nurani agar selalu dekat pada Ilahi.

Oleh:

Moh. Ghufron Cholid
Madura, 4 Februari 2014

KOMEN

Zainal Abidin Lasim. Makasih Sdr Ghufron tentang ulasannya. Tiap pembaca mempunyai pandangan ya sendiri terhadap apa yang dibaca. Saya pun tidak berhasrat untuk mengkritik tulisan beliau. Memang dulu pengkritik mengkritik tulisan pengkritik lain. Ini terjadi di lndonesia juga di Malaysia. ‘Polemik misalnya adalah kumpulan Kritik atas Kritik antara HB Jassin Dan pengkritik lain tentang “Langit Makin Mendungnya” Kipanjikusmin. Di Malaysia juga terjadi kritikan seperti itu seperti Polemik Sastera Islam antara Kassim Ahmad dan Shahnon Ahmad. Juga rantaian kritikan antara Mohd Affandi Hassan dan ..(lupa pula dengan siapa) tentang absurdisme, teori Freud dan sebagainya. Saya biasa dengan karya Abdul Hadi WM dan pernah berhubung dengannya secara maya.

Apa yang ingin saya sebutkan di sini cuma petikan ayat Quran atau hadis yang disentuh oleh Sdr Ghufron dalam ulasannya.

Pertama tentang hadis yang dipetik dari lmam Nawawi tentang niat. Mungkin cuma salah eja. fakulum riin ma nawa
Imam Nawawi memuliskan
ولكل امرء مأ نواى.
Walikulu imri inma nawa. Pa bermakna maka manakala wau bermakna dan.

Kemudian tentang hadis Qudsi Yang disebut itu, saya tidak dapat menuliskan teks Arabnya kerana tidak dapat menduga kalimahnya.

Berikutnya Ghufron menulis ud ‘uni astajib lakum.

Astajib adalah ayat perintah dan adalah ayat Quran.

أدعوني استجب لكم…
ud’uni istajib lakum bukan astajib. Ayat perintah (fi’il amr) tidak didahului baris atas. Ia harus baris depan atau bawah.

Terakhir ayat wama yuktikum minal ‘ilmi.

وما اوتيكم من العلم الا قليلا.
Wama utikum minal ilmi illa qolila.

Tidak dibaca yuktikum. Tapi dibaca utikum. Yuktikum dia memberi …
Utikum Aku (Tuhan) beri ilmu.

Ini beberapa kesilapan menulis ayat Quran dan hadis, terutama bila diromanisekan. Para ulama mengharamkan merumikan al-Quran dan Hadis kecuali jika terpaksa seperti untuk mereka yang baru memeluk lslam.

Saya Mohon maaf pada Sdr Ghufron, saya tidak mengkritik, cuma membetulkan kesilapan yang berlaku dengan sedikit ilmu yang diberikan Tuhan. Sedikit sekali. Makasih.

TAMAT.