1. Bagaimana Bisa
2. Stasiun Tanjungkarang
3. Di Kursi Kereta
4. Terseret Jauh
5. Bumi: Air Dan Tanah
Biodata Penulis
1. Bagaimana Bisa
Kutinggalkan Ibu?
aku rumini, usia 28 tahun
asal desa candipuro
lumajang di kaki Semeru
namaku kemudian
tercatat di langit
dikenang di bumi
sejak anakanak, ustad
mengajarkan cintailah ibu
karena rasulullah menganjurkan
“cintai ibu melebihi dari
manusia di bumi ini.”
demikian, tiga kali kanjeng
nabi menyebut ibu ketika
ditanya siapa yang patut
dicintai di dunia ini? “lalu ayahmu!”
lelaki yang menikahi ibu
hingga menjadikan aku ada,
adalah orang yang keempat
untuk dicintai
jadi bagaimana bisa kutinggalkan
ibu sendiri, dengan tubuh
rapuh. tak lagi bisa berjalan
apalagi lari dari buruan lumpur pamas
yang disemburkan semeru?
meski berkalikali ibu menyuruhku
lari dari kematian ini
berulang ia tolak tanganku
memeluk untuk membawanya;
“ibu bahagia ada di rumah
ini, menjaganya,” seakan
ibu membisikkan itu di telingaku
aku menatap wajah ibu
ke dalam matanya yang
bening. di situ, ya Allah,
kukihat sajadah terbentang
hingga ke langit lengang
“begitu terang,” gumamku
dan jalanjalan terbuka
ke satu pintu: illahi
lalu kupeluk erat ibu,
wajahnya lekat di dadaku
dan kuciumi ibu berjuta
kali. tak kurasa lagi ketika
empasan lumpur panas
mendorongku dan ibu
ke dekat dapur. berpeluk
dan wajah kami berpupur
lumpur. legam
“tapi, kuyakin Tuhan
menerima kami bahagia;
tangan malaikat membopong
kami…” suara Rumini
kini kami dengar
dan mencatat:
perempuan indonesia,
menginspirasi setiap anak..
namaku rumini
hidup di candipuro
lumajang kaki semeru
kau saksikan aku mati
memeluk ibu amat kukasihi
erat sekali
ibu yang bernama salamah
tertimbun dan mutung
oleh lahar panas
2021
2. STASIUN TANJUNGKARANG
pagi tak mengucap salam padaku
namun langsung menyilakan aku
duduk di kursi tunggu. di luar
deru kereta telah menunggu
ke mana pagi ini ingin pergi?
rel kereta yang masih dingin
dengan gigil bertanya. aku
tak sanggup menjawab; perjalanan
masih jauh, tebaktebakkan belum
tentu tertebak
rel kereta api masih panjang
dan tak akan pernah bertemu
namun, apakah aku juga
akan sampai di stasiun lain?
kau kini yang mesti menjawab
2 April 2022
3. DI KURSI KERETA
di kursi kereta yang belum bergerak
kudengar jelas gigi gemeretak
ah, bukan, tapi jantungku berdetak
seakan ada yang menggoda
kelak, ketika aku tiba di kotamu
yang dulu memerammu jadi ranum
dan aku senantiasa tergoda
ingin seperti adam yang digoda
hawa mencicipi buah itu
sampai, sampai…
aku memelukmu di kota
yang dulu begitu asing
kecuali kukenal ranummu
mencium, memeluk
kereta yang berpacu
dan aku di kursi
yang membuatku kaku
020422
4. TERSERET JAUH
sejauhjauh perjalanan,
air juga dalam pandangan
sejauhjauh menyisir daratàn,
laut dan sungai jadi pesisir
tapi, bagaimana keberadaan
air sekarang?
sumur yang bau karat
pakaian jadi kuning,
warna besi tua
siapa yang ulah?
“telah tampak kerusakan
di bumi kaŕena tangan
manusia,” Tuhan mengingatkan
dan kita terus menggali tanah
sedalamdalamnya
melubanginya jadi tambang
biarpun kelak kita bimbang
: tenggelam bersama!
ditimbun air yang
bergelombang amat besar
bah?
tsunami?
ah! aku dan kau sudah terseret jauh
bukan ke kapal nuh
bukan…
Maret 2022
5. BUMI: AIR DAN TANAH
bumi ini ada karena air dan tanah
Indonesia disebut negara
sebab punya tanah air
manusia tanpa air, tak
‘kan lama bertahan
maka telah tampak kerusakan
di bumi, siapa dia?
air yang berlimbah
sampai ke rumahrumah
hutan, gunung, bebukitan
yang kini rusak parah,
siapa pula yang rakus itu?
tanah ditamhang
air dikuras
siapa yang korban?
2022
BIODATA PENULIS
Isbedy Stiawan ZS, lahir di Tanjungkarang, Lampung, dan sampai kini masih menetap di kota kelahirannya.
Ia menulis puisi, cerpen, dan esai juga karya jurnalistik. Dipublikasikan di berbagai media massa terbitan Jakarta dan daerah, seperti Kompas, Republika, Jawa Pos, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Media Indonesia, Tanjungpinang Pos, dan lain-lain.
Buku puisinya, Kini Aku Sudah Jadi Batu! masuk 5 besar Badan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI (2020), Tausiyah Ibu masuk 25 nomine Sayembara Buku Puisi 2020 Yayasan Hari Puisi Indonesia, dan Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua dinobatkan sebagai 5 besar buku puisi pilihan Tempo (2020).
Buku-buku puisi Isbedy lainnya, ialah Menampar Angin, Aku Tandai Tahilalatmu, Kota Cahaya, Menuju Kota Lama (memenangi Buku Puisi Pilihan Hari Puisi Indonesia, tahun 2014): Di Alunalun Itu Ada Kalian, Kupukupu, dan Pelangi, dan Kau Kekasih Aku Kelasi (Siger Publisher, 2021), Masih Ada Jalan Lain Menuju Rumahmu (Siger Publisher, 2021), Tersebutlah Kisah Perempuan yang Menyingkap Langit (Teras Budaya, 2021), Buku Tipis untuk Kematian (basabasi, 2021), Mendaur Mimpi Puisi yang Hilang (Siger Publisher, 2022) dan Nuwo Badik, dari Percakapan dan Perjalanan (Siger Publisher, 2022).
Kemudian sejumlah buku cerpennya, yakni Perempuan Sunyi, Dawai Kembali Berdenting, Seandainya Kau Jadi Ikan, Perempuan di Rumah Panggung, Kau Mau Mengajakku ke Mana Malam ini? (Basabasi, 2018), dan Aku Betina Kau Perempuan (basabasi, 2020), Malaikat Turun di Malam Ramadan (Siger Publisher, 2021).
Isbedy pernah sebulan di Belanda pada 2015 yang melahirkan kumpulan puisi November Musim Dingin, dan sejumlah negara di ASEAN baik membaca puisi maupun sebagai pembicara. Beberapa kali juara lomba cipta puisi dan cerpen.
Proses kreatif Isbedy Stiawan ZS menjadi tesis Pascasarjana Fitri Angraini di FKIP Universitas Lampung (Unila) kemudian terbit sebagai buku bertajuk Dunia Kreatif Isbedy Stiawan ZS (editor Maman S. Majayana, Penerbit Aura Publisher).

TAMAT.