SAYEMBARA 9A/2022: MENULIS CERPEN FIKSYEN SAINS.
Panjang: Sekitar 2,000 perkataan.
Tema: Fiksyen melibatkan isu sains.
Hadiah: Pertama = RM500; Kedua = RM300; Ketiga = RM150.
Tempoh: 9-31.05.2022.
E-melkan karya ke: GaksaAsean@gaksaasean

PENYERTAAN

  1. Moh. Ghufron Cholid. “Generasi G”.
  2. Hamizon Shah. “F = ma”.
  3. Paridah Ishak. “Cenderawasih”.
  4. Husairi Hussin. “Lelaki Sempurna, Perempuan Cantik, dan Makhluk Asing”.

KARYA PENYERTAAN

1.

GENERASI G

Oleh Moh. Ghufron Cholid

Akulah Generasi G. Dekati aku, kau akan lebih mudah mendapatkan ilmu dari segenap penjuru. Ingin ilmu apa saja, aku bisa mengantarmu dan mengajarkanmu dengan suka cita.
Kali ini angin berdesir dan kembali menyisir inci demi inci dari hidupku. Akupun semakin cepat melaju. Aku tak ragu untuk memberikan kenyamanan dan kemudahan pada siapa saja yang menjalin hubungan denganku.
Aku tak pernah membedakan yang cantik dan yang tampan. Aku juga tak akan mempefulikan yang berkulit hitam dan yang berkulit putih selama dekat denganku, selama berada di sisiku maka kebahagiaan akan senantiasa menghampiri dan menetap di kedalaman hati.
Tak usah risau, semua yang kau mau pasti bisa kupenuhi. Kau boleh berada di mana saja dan dalam keadaan apa saja, selama kau tak berpaling dariku maka segala ilmu yang kau mau akan mudah kau dapatkan. Percayalah kau takkan rugi. Akulah Generasi G yang takkan pernah ingkar janji padamu.

#

Aku memang bukan Tuhan namun segala fasilitas yang bisa memudahkanmu untuk mendapatkan yang kau mau ada padaku. Aku datang dari generasi masa depan. Generasi yang serba cepat. Generasi yang serba tepat membimbingmu mencapai impian. Sudah bukan jamannya lagi bersemedi berhari-hari, berbulan-bulan atau bahkan bertahum-tahun.
Sudah bukan jamannya lagi untuk sampai ke tempat tujuan mesti bertanya masyarakat sekitar. Kendati kau baru pertama kali melakukan petualangan aku akan dengan mudah dan cepat mengantarmu ke tempat tujuan.
Jangan habiskan energimu untuk sesuatu yang bertele-tele dan serba lambat. Aku Generasi G tidak akan pernah memberikan kebingungan dan kesemrawutan. Tak usah kau sibuk berjalan ke kanan dan ke kiri, bertanya-tanya kepada tiap orang baru yang kau temui. Aku lebih ahli dalam segala hal. Segala yang kau inginkan akan dengan mudah kuberikan.
Aku, Generasi G. Bukan Generasi Goa, bukan pula Generasi Goblok, aku Generasi G, generasi yang super canggih. Satelit yang berada di berbagai tempat berada dalam genggamanku. Kalau kau ragu, kalau kau tak percaya padaku, buktikan sendiri dengan
mengatur jarak terdekat padaku.
Ilmu Falak atau ilmu yang lebih masyhur dengan sebutan ilmu perbintangan bisa kau dapatkan dengan mudah tanpa sibuk-sibuk kau mencari guru. Ilmu perdukunan yang kau mau aku juga bisa mengajarimu dengan mudah. Aku jamin kau tak akan kesusahan. Tak akan kesulitan.

#

Abaikan yang lain dan dekatlah denganku. Dari dalam kamar, kau juga bisa menghubungiku. Kau juga bisa menyaksikan tempat yang hendak kau tuju hanya dengan duduk manis. Tak ada yang mustahil bagiku. Sebagai generasi yang lahir dari masa depan, segala hal sangat mudah bagiku.
Percayalah jika kau bersahabat denganku terlebih menjadi pengikutku maka mertuamu akan kehilangan nyali untuk sekedar membullymu. Yang kau akan dapatkan hanyalah pujian, pujian dan pujian sampai kau lupa perihnya alamat hinaan.

#

Mulailah duduk manis di depan cermin, ambil handphone yang ada di saku bajumu, atau handphone yang biasa kau letakkan di saku celanamu. Dengan handphone 4 G maupun 5 G kau bisa dengan mudah menjalin ikatan denganku. Generasi G, generasi yang akan selalu kau puji dan selalu menganggukkan kepala atau dua jempol tangan untuk memberi penilaian
keberadaanku.
Latar belakang hidupmu, status sosialmu bisa kuabaikan. Selama kau berada di sisiku, aku jamin kau takkan pernah mengernyitkan dahi untuk yang kedua kali. Jika kau memiliki dokument penting dan kau khawatir dokumenmu akan hilang seiring perputaran waktu maka pilihan tepat adalah kenal dan bersahabat denganku.
Akulah Generasi G, generasi yang pemurah juga penyayang. Generasi yang paling royal dalam memberi dan tak pernah rewel juga takkan pernah cerewet.
Akulah Generasi G, yang akan selalu peduli padamu. Peduli pada senyummu, peduli pada kemajuan hidupmu. Jika wajahmu keriput lantaran semakin menua maka akulah Generasi G yang akan membuatmu selalu awet muda bahkan sangat muda dibandingkan usia aslimu.

#

Kalau kau termasuk orang paling sibuk dan tak punya waktu banyak untuk sekedar membuka dan membaca kitab sucimu maka aku akan dengan mudah membimbingmu juga akan memperdengarkan suara termerdu dari seorang yang paling ingin kau dengar suaramu.
Jika kau ingin tahu tempat paling indah dalam hidup ini namun kau tak bisa berkunjung secara langsung lantaran padatnya program hidupmu maka datanglah padaku. Aku Generasi G yang takkan pernah mengecewakanmu.
Masa lampau dan masa depan ada dalam genggamanku. Kau tinggal memilih ingin berkunjung ke masa yang paling kau sukai. Selama kau tidak mengucilkan adaku maka kebahagiaan nyata ada padaku. Aku tak pernah memiliki kekurangan. Aku memang ada dalam bentuk paling sempurna. Adaku memang diprogram untuk memberikan kemudahan padaku.
Segala permasalahan hidup yang tak bisa kau selesaikan aku sangat mudah mengatasinya. Percayalah, kenal dan bersahabat denganku maka kau telah memilih untuk berjauhan dengan kesulitan.

#

Arman mulai mendekatiku dan mulai meragukan kehebatanku. Arman dengan lantang menantang jika kau memang hebat maka penuhi permintaanku. Aku ingin dengan mudah melihat Jabal Uhud dari halaman rumahku!
Sebagai Generasi G, bagiku permintaan Arman adalah hal yang sangat sepele. Permintaan yang sangat mudah kupenuhi. Aku bimbing Arman menuju destinasi yang hendak dilihat.
Arman ambil handphonemu yang berada di saku bajumu lalu gerakkan jemarimu di keyboard handphonemu tulislah Jabal Uhud maka segala informasi tentang Jabal Uhud akan berduyun-duyun datang padamu baik berupa gambar, video maupun yang hanya
sebatas tulisan saja.
Dari halaman rumahmu, kau bisa menyaksikan Jabal Uhud dari jarsk terdekat hingga kaupun tak merasakan Jabal Uhud berada jauh darimu. Itu hanya sebagian kecil dari kehebatanku.
Arman naik pitam. Arman mulai menanyaiku pertanyaan ekstrim, hai Generasi G, aku percaya kau hebat namun kali ini kau takkan mampu menang dariku. Jangan terlalu jumawa dengan pertanyaan ataupun permintaan remeh temehku!
Jangan meremehkan kehebatanku! Aku mulai naik pitam pada Arman. Sebutkan saja permintaanmu yang paling mustahil! Kapan kau akan mati? Arman mulai membidikku dengan pertanyaan.
Aku terdiam. Aku tak dapat menebak kematianku srndiri.
Kenapa kau terdiam! Katanya kau sangat hebat?” Arman terus mencercahku dengan pertanyaan. Sesekali aku menatap wajah Arman yang mulai menampakkan wajah bahagia lantaran merasa lebih unggul dariku. Aku lebih banyak menunduk dan lebih banyak memilih diam.
Sehebat apapun dirimu, tetap takkan mampu menebak kematianmu sendiri. Jikapun bisa itu semua hanya praduga yang belum pasti kebenarannya. Ucap Arman padaku. Angin kembali berdesir dan hanya detak jarum jam yang bersuara memecah hening angkasa.

Aku Generasi G
Di hadapan pettanyaan Arman, aku ciut
Kehebatan yang kusandang
Kehebatan yang kuperkenalkan
Tak jua bisa kukekalkan
Aku terdiam dan terus terdiam
Manakala Arman naik pitam
Manakala Arman bertanya padaku
Kapan aku mati
Pelan-pelan aku sadar

Aku memang Generasi G
Generasi yang lahir dari masa depan
Generasi yang diliputi kecanggihan
Namun saat berhadapan dengan pertanyaan
Kapan aku mati
Nyaliku ciut
Kehebatanku surut

#

Teng… Teng… Teng
Bel berbunyi tiga kali, tangan yang begitu kukenal menepuk pundakku berulangkali untuk meninggalkan tanda padaku sudah waktunya pulang, sudah waktunya mengakhiri tidur panjang.

Junglorong, 16 Mei 2022

2.

F = ma

Hamizun Syah

BEBERAPA bulan lalu, tanggal 15.Oktober.2031. Antara berpuluh-puluh Pegawai Kiri Saintis dari seluruh negara, Fayad terpilih menerima anugerah berprestij; Anugerah Karisma Saintis. Di samping tepukan hadirin yang terdiri daripada saintis seluruh negara
menggemuruhkan Dewan Sains Negara sebaik Fayad disematkan Pingat Setiabakti. Pingat yang menjadi igauan para saintis Malaysia setiap tahun. Fayad turut teruja apabila diumumkan pelancaran ciptaan terbaharu Biro Fizik Negara (BIFIN UTARA), Kuala Ketil, Kedah. Di biro itu Fayad berkhidmat. Mustahil Fayad mudah memadamkan tingkah majikannya, Profesor Zair tersentak memperoleh kepercayaan menyempurnakan pelancaran Kunci Ibu Jari (Kunja). Kunja adalah pengganti anak kunci kereta. Kunja direkakan secara elektronik sederhana. Beberapa bulan kemudian, kunja menembusi pasaran globalisasi. Tidak
perlu anak kunci lagi untuk menghidupkan kereta. Pada stereng kereta tersedia dua kunja bersaiz sebesar ibu jari manusia dewasa. Setiap kunja merekodkan urat-urat ibu jari kanan dan kiri pemandu disahkan. Pemandu yang sah hanya perlu melekapkan ibu jarinya ke kunja.

Enjin kereta pun dihidupkan.

Cadangan awal hanya satu kunja di setiap stereng. Di situ tugas rasmi Fayad yang berjawatan Pegawai Kiri Saintis. Melalui peranannya itu, akhirnya dipersetujui dua kunja di setiap stereng sebuah kereta. Objektifnya sebuah kereta mesti mempunyai dua pemandu disahkan, sebagai alternatif jika salah-seorang berdepan masalah tidak diingini.
Hari ini; Ahad bertarikh 20.Mei.2032. Hari bercuti. Sekali lagi Fayad memilih mengurung diri di rumah. Separuh badan Fayad tersandar ke dinding kelabu lembut berkerutu kecil mewarnai seluruh ruang rumah. Punggung Fayad tersepuk di permaidani berbulu kapas yang mengeluarkan aroma mempengaruhi persekitaran. Fayad memilih aroma bunga ‘kerak-nasi’ yang mendamaikan! Sepasang kaki Fayad melunjur lurus. Setiap kali Mero berbulu hitam di sofa sana mengeow, Fayad menoleh. Menyedari Mero mengeow kosong. Perlahan-lahan Fayad memandang semula dinding di depannya.
Tiba-tiba warna kelabu lembut di dinding itu mengejek idea yang berbekas di mindanya. Idea itu terlalu lama berbekas di situ. Belum ada yang mengetahui, termasuk Profesor Zair. Teknik berkerutu di dinding bagaikan sindiran ke mindanya sedang bercelaru. Kelabu dan kerutu permukaan dinding adalah buntu dan celaru permukaan mindanya. Tetapi semua kebuntuan dan kecelaruan itu tidak berkaitan dengan tugasan di BIFIN UTARA.
Ketika bada subuh, Fayad meninggalkan sejadah dan merelakan dirinya berada di posisi sekarang. Fayad tidak berganjak dari terus menyandar separuh tubuh ke dinding. Hanya berhenti untuk zohor sebelum kembali ke posisi yang sama. Sejak semalam Fayad mematikan semua talian media sosial. Tidak perlu ada pengaruh warganet mengganggu, Cukup bertemankan gelagat Mero sedikit-sebanyak menghiburkan. Tidak perlu keluar ke restoran atau menghubungi khidmat penghantaran makanan. Cukup mengunyah roti-roti aneka berperisa berbalang-balang di kabinet dapur. Sesekali di kolam mata Fayad seakan-akan terlihat kelibat Salbi memasak. Serta-merta Fayad mengusir lintasan kelibat itu. Sudah lebih tujuh tahun, Fayad dan Salbi bukan lagi suami-isteri dan selama itu gelora kelakiannya terkawal. Fayad tidak berhasrat mencari pengganti baharu. Fayad juga tidak pernah cemburu
bekas isterinya itu memuatnaikan foto-foto bahagia dia dengan suami sekarang di Facebook.
Fayad memilih posisi sebegitu bukan kerana menyesali nasibnya tidak berjawab. Fayad sedar, kepesatan teknologi telah menghadiahkan kepada sejagat berbagai ciptaan baharu yang luar-biasa. Namun nasib manusia tetap merupakan ketentuanTuhan semenjak azali. Fayad punya falsafah tersendiri dalam hal begini. Menang, kalah, bercinta, bernikah, bercerai dan segala-galanya berlaku semata-mata menurut acuan takdir. Tiada siapa mesti dipersalahkan atau perlu dipertanggungjawabkan. Atau lebih tepat, tidak ada apa mahu dikesalkan.
Sesekali Mero cergas menerkam ke penjuru tepi pintu bilik air. Seakan-akan Mero ternampak cicak atau lipas bergerak. Tetapi hakikatnya, tidak ada apa-apa pun di situ. Mero hanya menerkam angin sebelum melompat duduk di sofa. Fayad hanya membiarkan kucing yang sepenuhnya berbulu hitam itu merebahkan tubuh ke sofa pvc hitam di ruang tamu. Jika tidak diperhatikan bersungguh-sungguh, tidak akan terkesan kewujudan Mero.
Fayad menghela nafas panjang. Masih pada posisi tadi. Belum tergerak hati untuk berganjak. Walaupun Fayad dalam keadaan sebegitu, namun itu bukan bermakna Fayad sedang meladeni kekecewaan. Tidak ada apa-apa lagi layak dikecewakan. Fayad tidak pernah terhukum atau tertekan dengan kedudukan dan peranannya di BIFIN UTARA. Malahan Fayad sering menyedari dirinya begitu bertuah kerana dapat berkhidmat di situ. Biro Fizik Negara yang terdapat di setiap negeri adalah sebahagian daripada usaha kerajaan sejak lima dekad lampau bagi membuka peluang kepada ramai saintis membuktikan bakti. Begitu juga dengan kemunculan Biro Biologi Negara dan Biro Kimia Negara di semua negeri. Masing-masing punya fungsi yang tidak kurang pentingnya memacu Malaysia antara negara yang tidak sunyi dengan penghasilan produk sains kepada sejagat.
“Kita bukan mencipta penyembur ini bertujuankan komersial semata-mata. Penyembur ini berupaya mengeluarkan aroma berahi ke pasangan suami-isteri. Bagus dalam memupuk dan mengekalkan hubungan intim suami-isteri.” begitu kata-kata Profesor Zair berbaur antara tegas dan tekad.
“Saya juga tidak pernah menafikan, Prof! Betapa manfaat ciptaan terbaharu kita ini. Tetapi, masalahnya ia bebas digunakan.” memang Fayad mesti membantah mana yang kurang ke atas setiap ciptaan sejak di peringkat mula sehingga ke tahap eksprimen.
“Ya, bebas! Setiap pasangan suami-isteri, tidak kisah daripada kalangan bangsa apa atau agama apa, bebas menggunakan penyembur rangsangan ini.” Profesor Zair seperti tidak mahu sebarang bantahan lagi terhadap ciptaan baharu BIFIN, Kuala Ketil, Kedah itu. Beberapa pegawai sampingan, para saintis dan pekerja am di situ memandang mereka kemudian masing-masing memberikan fokus pada tugasan. Pertelingkahan hujah begitu adalah rutin antara Profesor Zair (Pengarah Utama BIFIN UTARA) dengan Fayad (Pegawai Kiri Saintis BIFIN UTARA). Setiap kali ada pegawai sampingan mengemukakan idea baharu, sampai ke kajian para saintis dan dilakukan eksprimen sehingga teruji boleh dipraktikalkan. Sepanjang proses itu berlangsung, peranan Fayad mesti mencari seberapa mungkin kekurangan atau kelemahan yang mesti diperbaiki atau diubahsuaikan.
“Sekali lagi saya ulang…Setiap pasangan suami-isteri berhak dihidupkan rangsangan dalam hubungan. Selari dengan tujuan pernikahan itu sendiri. Malahan ajaran Islam meletakkan seorang isteri berdosa besar jika menolak hajat suaminya untuk bersama.
Walaupun isteri itu sesibuk mana.” tiba-tiba Profesor Zair menggunakan alasan agama sebagai sandaran hujah.

“Tetapi, Prof. Zair! Penyembur rangsangan yang terpasang di bilik suami-isteri belum tentu tidak ada orang lain boleh menceroboh. Di sini bahayanya. Cuba Prof bayangkan apa terjadi andai bilik itu dicerobohi pasangan yang bukan suami-isteri. Anak-anak remaja berlainan kelamin, barangkali. Tiba-tiba terangsang nafsu.” suara Fayad terhenti sejenak.
Matanya menyorot ke ruang para saintis beruji-kaji. Kemudian melepaskan nafas lembut dan berkata lagi: “Tidak mustahil, terjadi hubungan ranjang melanggari syariat.”
Ketika itu, Fayad pula menggunakan alasan agama sebagai landasan hujah. Perbahasan mereka tidak menghiraukan sangat dari mana petikan sumbernya. Paling penting hujah harus fakta. Peranan Fayad tidak lain tidak bukan adalah memastikan produk terhasil menepati kesesuaian setiap aspek. Profesor Zair mendengar sebelum mendongak ke raut wajah beberapa orang pegawai sampingan. Seakan-akan minta bantuan hujah. Fayad hanya menunggu hujah balas, dan memang begitu tugasannya.
“Kita akan pasang suis peribadi ke alat penyembur rangsangan. Selesai masalah!”
“Tetapi tetap tidak menjaminkan keadaan terselamat.” Fayad belum berpuas-hati.
“Melainkan jika penyembur ransangan itu hanya berfungsi mengikut bau badan pasangan suami-isteri.” pada hujah itu serta-merta membuatkan Profesor Zair tergamam memandang Fayad serentak terangguk-angguk.
Fayad tidak pasti kenapa projek penyembur rangsangan itu masih belum direalisasikan.
Setiap kali Fayad bertanya, Profesor Zair menjawab: “Saintis kita belum jumpa formula menghidupkan alat itu mengikut bau badan.”
Fayad masih berkuarantin dalam rumah. Tidak satu pun tingkap terbuka untuk sinar luar menjamah suasana rumah. Sengaja Fayad kepingin menikmati suasana begitu. Mero sudah tidak janggal dengan suasana yang bukan pertama kali. Fayad tahu Mero mengeow-ngeow bukan kerana lapar, tetapi begitulah tabiatnya. Jika lapar Mero boleh ke bekas yang sentiasa terisi makanannya di ruang dapur. Kadang-kadang Fayad terfikir… Mero sedang menyanyi-nyanyi di sofa. Cuma tidak pasti lagu apa yang dinyanyikan kucingnya itu.
Suasana suram begitu bukan dijelmakan selepas Salbi menuntut fasakh kerana mahu menikahi bekas kekasihnya. Suasana begitu sering Fayad timbulkan sebelum melafazkan talak lagi. Malahan, sikap itu yang Salbi guna sebagai salah-satu faktor menuntut fasakh.
Setiap kali Fayad cuba mewujudkan suasana terkurung dan agak suram, Salbi segera memanggil lelaki yang pernah dicintai menjemputnya keluar.

“Eh, kita bukan zaman primitif. Engkau tak patut ajak aku terikut-ikut hidup seperti dalam gua.” beratus kali Salbi merungut begitu sebelum keluar dari rumah tanpa mendapat keizinanan suami. Sejak Salbi berhubung semula dengan lelaki itu, bekas isterinya lebih kerap menggunakan ‘aku’ dan ‘engkau’ ketika berbual. Mujur pernikahan mereka tidak memperoleh cahaya mata.
Fayad mengurung diri di rumah hari ini bukan untuk menyusuri lembah-lembah indah dalam kenangan bersama Salbi. Fayad juga tidak ingin merentasi ranjau-ranjau kejam merawankan jiwa tatkala bibirnya terpaksa menjatuhkan talak. Fayad berada di posisi begitu bukan untuk mengingati setiap butir hujah dalam perbahasan panas antara dia dan Prosefor Zair. Termasuk pertelingkahan hujah tentang Ketuhar Kilat Kasut (Kekilat) ciptaan BIFIN UTARA beberapa minggu lalu. Ketuhar yang bakal dihasilkan untuk mengilatkan semula kasut dan tas-tangan kulit tulen atau pvc. Memang begitu etika profesyen seorang Pegawai Kiri Saintis Negara di mana-mana biro sains. Seolah-olah di pihak pembangkang Lagipun Fayad akur tiada sesiapa yang pernah berhuni di bumi sama ada di zaman kuno, zaman teknologi bermula, zaman teknologi mendominasi situasi atau zaman teknologi meledak. Sama ada di tahun 0001Masihi atau 1010 Masihi atau sekarang ini 2032Masihi.
Takdir bukan pilihan manusia. Tidak kisah dilahirkan di tengah kancah peperangan, di darat melarat atau di kayangan mewah. Bukan pilihan manusia! Pilihan penghuni bumi semata-mata meneutralkan apa telah ditakdirkan ke atasnya. Kemudian menafikan semula itu pun bukan pilihan. Sebaliknya itu juga ketentuan azali.
Cubaan meneutralkan takdir ditetapkan amat memerlukan daya fikir yang tinggi. Skala pemikiran manusia mesti dipertingkatkan. Untuk mempertingkatkan daya pemikiran inilah tercetus idea di minda Fayad. Idea yang belum dikemukakan kepada mana-mana individu atau mana-mana pihak. Fayad merujuk kepada ungkapan; daya pemikiran. Di situ tertera istilah daya. Menurut teori fizik daya disimbolkan sebagai F.
Iaitu: Daya(F) dalam unit Joule = Jisim(m) dalam unit Kilogram ‘darab’ Pecutan(a) dalam unit saat.
Maka: Daya = jisim x pecutan
Maka: F = ma

Melalui hipotesis ringkas, Fayad mendapati pada struktur manusiawi, jisim(m) merupakan kapasiti-minda. Platform mengumpul, menghafal sekaligus memahami maklumat yang sampai. Sementara itu, pecutan(a) merupakan kadar kelajuan nano molekul oksigen di saraf tunjang, berfungsi menyerapkan maklumat. Sudah tentu jika dapat diciptakan mekanisme fizik yang memperlajukan pecutan nano oksigen supaya seimbang dengan jisim kapasiti-minda pasti memanifestasikan daya pemikiran tidak disangka-sangka. Ini bukan mustahil. Hanya memerlukan eksprimen secara berperingkat.
Formula; F = ma mesti diaplikasikan ke diri manusia menerusi mekanisme berpotensi tinggi. Apabila kapasiti-minda dan kelajuan nano oksigen diseimbangkan, serta-merta daya pemikiran dapat dipertingkatkan dari semasa ke semasa. Langsung mekanisme ini mampu membentukkan kehidupan yang luar-biasa bijaksananya dalam menentukan sesuatu keputusan langsung meneutralkan takdir. Lantas mekanisme ini seratus-peratus menjadikan hidup sejagat lebih teratur dan tenteram.
‘Meow..’ tiba-tiba Mero menggesel pipinya ke telapak kaki Fayad.
Agak tersentak juga Fayad. Namun dibiarkan Mero menggesel-gesel mesra. Mungkin kucing itu juga dalam kesunyian mendambakan pasangan. Begitu yang menjengah di fikirannya. Beransur-ansur Fayad melupakan aksi Mero, menyedut aroma bunga kerak-nasi yang terbit dari hamparan permaidani di lantai rumah. Mendamaikan!
Fayad berimaginasikan replika yang mungkin pada struktur mekanisme tersebut.
Sejenis jentera kecil berbentuk sfera dengan perimeter sebiji bolasepak. Barangkali. Dan jentera itu merupakan enjin dengan injap-injap dan gear-gear kecil melancarkan proses pecutan nano oksigen. Sistem mekanisme beroperasi secara terperinci lagi seimbang
menyalurkan maklumat ke jisim kapasiti-minda. Keseimbangan dua elemen asas ini diganda-gandakan sehingga menerbitkan daya pemikiran bukan calang-calang kepada setiap pengguna. Tetapi bukan tanggungjawab Fayad merangka bentuk jentera tersebut. Di BIFIN UTARA telah sedia ada individu yang lebih mahir tentang itu.
Kedengaran, mustahil! Tetapi Fayad yakin bawah krebiliti Profesor Zair disertai pula kepakaran dan komitmen para saintis di makmal BIFIN UTARA, Kuala Ketil, Kedah.
Ciptaan begini boleh direalitikan dan dipraktikan. Sekali lagi Fayad memandang dinding bercat kelabu lembut dan berkerutu di depannya. Tetapi kali ini, Fayad tidak mahu lagi ideanya terus buntu dan bercelaru.

Tidak semena-mena berkumandang azan asar yang direkodkan di jam dinding. Serta-merta Fayad meninggalkan posisi itu, membiarkan Mero tertidur di sofa dan memasuki bilik bersejadah. Sesudah solatnya nanti Fayad bertekad menyiapkan kertas-kerja ideanya untuk dihantarkan kepada Profesor Zair. Tidak ada alasan lagi hendak bertangguh-tangguh.

3

SAYEMBARA CERPEN FIKSYEN SAINS ESVA 10 022
Peserta:
Paridah Ishak
Tajuk: Cenderawasih

CENDERAWASIH

AKU mendongak memandang langit. Mengintai-ngintai kelibat Cenderawasih di celah gumpalan kumulus putih. Tiada kelihatan Cenderawasih di situ. Hatiku menggelombang berbaur rasa. Risau pun ada.
‘Ke mana kau ni, Asih? Aku suruh kau ke kedai saja, beli barang dapur sedikit. Kenapa pula kau pergi merayau serata alam. Jangan-jangan mungkin kautersangkut celahan gumpalan komulunimbus yang mengandung jisim berat higokorpis. . Cepatlah pulang. hai Cenderawasih. Kau tu masih demam. Suhu tubuh pun tidak normal. Urat perutkau masih bengkak. Sebab terlebih makan bijirin penjana energi ciptaanku.’
“Kau di sini lagi? Kan mak suruh ke kedai beli barang yang mak tulis senarainya.” Emak terjengol di muka pintu dapur. Emak tentu amat perlukan barang-barang dapur itu sebagai persediaannya memasak pelbagai juadah untuk berbuka puasa dan menyambut Aidilfitri. Entah esok atau lusa jelangnya. Aku tidak pasti. Terpaksa menunggu pengumuman tarikh Aidilfitri dibuat Penyimpan Mohor Besar Raja-Raja sejak berdasawarsa lalu.
“Arif dah suruh Cenderawasih ke kedai beli semua barang yang mak hendak tu! Sekejap lagi pulanglah agaknya. Mak bertenang saja. Tak payah mak nak risau sangat. Nanti tak pasal-pasal mak diserang hipertensi. Kan susah! Hipertensi tu bahaya, tau
mak. Tak boleh ambil mudah. Sebabnya akan mengganggu fungsi kesihatan seperti jantung dan buah pinggang. Tiba-tiba mak dapat penyakit tiga serangkai pula. Nauzubillah.” Aku cuba menenangkan kegelisahan emak.
“Kau ni, ada saja alasannya. Menyusahkan Asih saja yang kau tahu. Kan Asih tak berapa sihat. Perutnya sakit. Tentu tak larat dia nak bawa barang-barang mak. Dibuatnya sakit perutnya menjadi-jadi, tentu dia tak dapat imbang diri dan terjatuh kala terbang. Bertambah sakit dia. Kesian Asih! Nak merawat sakitnya, besar juga belanjanya. Susah juga kau nak cari ubatnya di Shopee! Terpaksa pula kaupesan dari China, Jepun atau USA. Mahal pertukaran nilai wang. Maklum wang kita jumlahnya banyak, nilainya sikit.”
Bicaraku dan ibu terkedu tatkala melihat Cenderawasih tiba-tiba menjunam, menghampar sayapnya di sisi kami. Aku segera menghampiri Cenderawasih.
Kegembiraanku mengusir kerisauan yang berladung lama dalam sukma. Aku tidak berdaya kehilangannya.
“Cepat bawa ke dapur barang-barang yang dibeli Asih, ya Arif!” emak berlalu dari situ, memasuki ruang dapur.
“Baik, mak!” balasku bersahaja.
“Mengapa lambat pulang, Asih? Kau ada masalah tika terbangkah?”
“Tiada apa-apa masalah, Bos. Semasa terbang pulang tadi, aku bertemu Pegar. Kami singgah di R&R Puncak Jerai, berborak sekejap. Pegar berehat di situ setelah selesai kerjanya menabur baja NPK di sawah padi. Sebelum itu, katanya, dia telah menabur benih padi serata sawah. Pabila padi tumbuh dan sebulan usianya, dia membaja pula untuk menyuburkannya. Nampak penat juga dia bekerja di situ. Tapi, katanya, dia seronok dan gembira bekerja sesekali saja menabur baja padi dan meracun rumpai mengikut jadual yang diberi Ketua Desa, tuannya.”
“Jangan pegar tunggu nak makan padi setelah padi masak, sudah!” leluconku disanggah Cenderawasih pantas.

“Bos keliru pula dengan peribahasa lama, ya. ‘Harapkan pagar, pagar makan padi’. Diksi peribahasa Melayu lama menegaskannya. Bukan ‘harapkan pegar, pegar makan padi’ tapi ‘harapkan pagar, pagar makan padi’. Memang burung pegar itu makan padi. Itu makanan rujinya.Takkan petani nak harapkan dia menjaga padi. Bos ni, mesti tak merujuk kamus peribahasa DBP. Hih…hih,” halus suara Cenderawasih mengetawakan aku.
“Oh, begitu sebenarnya maksudnya, ya. Nanti aku semak kamus DBP dalam bilik baca aku!”

“Tak payah susah payah, Bos. Pandang saja dalam mata Asih ni. Semua ada fakta di sini. Cuma dengan detak hati Bos saja dapat dibaca niatnya. Aliran sel neuron dalam mindaku cepat saja menghadam kehendak Bos. Asih kan sakti. Asal dari kayangan lagi hih hih!” Asih tertawa galak. Cenderawasih selalu berkata kepadaku bahawa dia berasal dari kayangan. Dan makanannya awan gemawan.
Aku menganggapnya bercanda cuma. Aku temuinya tersangkut di atas pokok di hutan. Ketika itu pertandingan drone peringkat negara sedang berlangsung. Mungkin dia antara drone yang tersesat dibawa kelajuan angin ke situ. Aku terkejut tatkala dia menegurku dan meminta aku membawanya pulang. Drone ini nampak canggih rekaciptanya. Siapalah pemiliknya agaknya! Aku serba salah hendak membawanya pulang bersamaku. Tapi kasihan pula kerana katanya kepadaku, kakinya sakit dan minta aku tolong carikan ubatnya.
“Iyalah. Terperasan pula kau, ya!” Aku merenung mata Cenderawasih.
“Hmm! Maksudnya mereka yang tidak amanah dalam menunaikan tanggungjawab yang digalaskan di bahunya.ibarat pagar yang didirikan untuk menjaga padi. Tapi menjahanamkan padi pula. Peliknya gen xyz mempertikaikannya dan menyalahkan pegar pula ya! Sebenarnya mereka tidak faham hendak terjemah maksud metafora diksi tersirat peribahasa yang terbentuk dalam perbidalan Melayu purba.”
Aku berkomentar lirih setelah membaca kenyataan yang tertera di retina mata Cenderawasih.

.”Ralit pula aku membaca informasi di mata kau! Biar aku ke dapur dulu menghantar barangan kau beli pada emak. Nanti aku datang bersembang dengan kau lagi. Kau jangan terbang ke mana-mana. Kau duduk diam-diam di bawah pokok pukul lima ni ya. Kalau ada sesiapa yang mengganggu, cepat kau hantar siren isyarat ke peranti rahsia.”
“Okey Bos! Bayaran debit sudah dimasukkan dalam akaun ‘keluarga besar’.”
Akaun ‘keluarga besar’ ialah kira-kira kewangan desa yang diwujudkan Ketua Desa untuk menentukan perbelanjaan harian kehidupan warga desa sesuai dengan keperluan sesuatu keluarga agar tidak berwenang-wenang berbelanja menjurus kepada
pembaziran. Bukankah membazir itu sifat mazmumah kesukaan syaitan laknatullah.
Ketua Keluaga Besar Negara cuba mengadaptasi nilai murni Islam syumul agar menjiwai setiap diri keluarga besar desa seluruhnya. Dan Ketua Keluarga Desa mematuhi arahan dengan sebaiknya.

“Ketua Keluarga Besar Negara” memperuntukkan pada setiap keluarga kecil di desa sejumlah dana yang digunakan membiayai keperluan asas hidup iaitu makanan, pendidikan dan kesihatan mengikut bilangan ahlinya. Setiap tahun Ketua Desa akan mengaudit kira-kira yang tersenarai rapi. Ketua Desa sangat teliti dalam soal keselesaan hidup keluarga di desa secara holistik. Aku tahu itu. Beliau seorang yang memegang amanah dengan jujur. Cuma aku tidak berkenan dengan sikap anaknya yang gemar mengusik Cenderawasih. Mungkin dia teruja dengan kecantikan Asih semula jadi. Aku berprasangka baik. Meminggir cemburu menguasai emosi.
“Mak nak buat apa dengan barang-barang semua nih?”
“Eh! Bertanya pula! Mestilah nak buat sedikit kuih raya. Esok lusa dah nak raya. Mak dan Ayah bercadang menziarahi Nenek dan Atuk di selatan. Mak nak buat kuih juga nak bawa balik pada ke sana.” Emak sibuk membentuk adunan dengan acuan biskut pelbagai. Kemudian segera memasukkan ke dalam ketuhar otomatik. 30 saat kemudian, ketuhar terbuka sendiri. Emak membiarkan seketika sebelum memasukkannya dalam balang kedap udara.

“Cepat betul masaknya kuih mak nih!”
“Ya. Kini semuanya segera. Mati pun segera juga!” balas emak sinis.

Aku faham apa yang emak maksudkan. Sebab semasa pandemik C19 membadai, beribu-ribu yang meninggal dunia sekelip mata di hospital atau di mana-mana saja di sini. Bagaikan setiap hari komuter terjun ke gaung kerana hilang daya unit kawalan enjin (ECU). Fasa endemik baru diisytiharkan Ketua Keluarga Besar Negara setelah beberapa tahun virus corona, delta, omicron merejam sarwajagat dengan panahan berbisa.
“Nak naik apa nak balik kampung?”
“Naik apa lagi, Rusalah! Kan Rusa laju berlari!” balas emak yakin.
“Kenapa tak terbang dengan Nuri? Nuri lebih pantas terbangnya.”
“Nuri sibuk bersama abangmu selalu di atas awan menjaga sempadan negara agar tak dibolosi pendatang asing (PTI) yang menyelinap masuk ikut jalan tikus. Selalu. Makin dikawal, makin berani mereka menjelajah setiap cerok ruang desa kita. Kemudian menguasainya seolah menganggap tanah kita harta mereka. Kata abangmu, tahun ini pun dia tak dapat pulang cuti beraya bersama kita.” Emak mengomel seraya mengeluh.

Aku setuju pandangan emak. Walau dunia ini milik Allah, namun watan sesuatu bangsa itu telah ditentukan sempadannya berkurun lamanya. Dan sayangi watan itu sebahgian dari iman (hubbul watan minal iman) menurut pepatah Arab.
‘Penat saja abangku bersama Nuri dan tim keselamatan menjaga sempadan negara di laut dan di darat tapi setelah PTI (Pendatang Tanpa Izin) itu ditangkap, terlepas pula dari kawalan imigrasi. Menjengkelkan sungguh.’ Tidak berbaloi usaha dan tenaga terbuang sia-sia.
“Musim raya lebuh raya sesak, mak. Letih saja berlama-lama dalam Rusa nak ke kampung.”
“Berlama-lama sesekali dalam Rusa, bersesak di lebuh raya tinggi di udara tidak mengapa. Sebagai tanda pengorbanan jiwa raga untuk meraikan Aidilfitri setelah kita berpuasa selama sebulan pada bulan Ramadan.” Emak bersuara positif. Sifat emak sudah lama kukenali sebati dengan sabar, reda bertawakal menghadapi apapun cabaran.

Lebuh raya di sini berselirat setinggi pucuk kelapa di udara, disokong pilar-pilar demi mengelakkan kesesakan lalu lintas untuk kenderaan keluarga kecil. Lebuh raya aspal atas tanah dikhususkan untuk kenderaan besar membawa muatan berat sahaja. Namun kesesakan di lebuh raya di musim perayaan persis dahulu juga lantaran pertambahan kenderaan berlaku setiap hari. Pelbagai jenis jenama dan bentuk menjadi pilihan warga desa.
Medal peranti kecil yang kukalongkan di leherku mengombak nota. Tidak kubaca nota itu. Sekonyong-konyongnya siren perantiku menjerit lantang.
“Biar Arif keluar pergi tengok ya mak! Cenderawasih yang hantar signal!”
Terkejut aku memandang Amil berdiri di sisi kuda terbangnya. Suara kudanya meringkih gamat.
“Diamlah kau!” kuda terbangnya terdiam. Nada suaranya difahami kuda terbangnya.
“Assalamualaikum, Amil. Kau ke mari nak ambil zakat fitrah keluargaku kah?”
“Waalaikumsalam! Maaf aku terlupa nak memberi salam.”
Dia kesiluan lantaran kealpaannya.
“Kau nih nak mengusik akulah tu! Walau namaku Amil, tapi aku tak kutip zakat fitrah. Zakat fitrah semua kita di desa ini diuruskan oleh bapaku Ketua Desa. Tak ingin aku nak buat kerja itu. Biar bapa aku yang uruskan semuanya.”
“Habis kenapa kau ke sini? Aku tahu kau tak akan sengaja ke sini tanpa ada sebab-musababnya.”

“Bukankah aku dah hantar nota, beritahu aku nak ke sini! Tapi kau tak balas pun. Itu yang aku ke sini menziarahi kau.”
“Terima kasih Amil. Ingat kau pada aku. Maaf aku tak baca nota yang kaukirim. Tadi aku sibuk di dapur menolong emak buat kuih.”
Amil tersengih. Tergeletek hatinya mungkin kala mengetahui kawannya ini tidak canggung menolong emaknya membuat kuih.
“Rajin kau ya! Aku makan saja rajin. Menolong emakku buat kuih tak rajin pula.”
“Aku tolong sikit-sikit saja pun.”
“Aku berkenan sangat dengan Cenderawasih kau nih! Boleh kau jualkannya padaku. Aku sanggup bayar berapa pun harganya.” Hajat disuarakan Amil kepadaku bagai aliran listrik menyentak minda sedarku.

Terpana. “Oh, itu tujuan kau ke sini. Tapi drone seperti Cenderawasih, boleh kau beli di Shopee. Pesan saja. Cepat pesan, cepat dapat. Banyak drone Cenderawasih produksi Jepun di pasaran sekarang. Cantik dan memudahkan banyak pekerjaan kita. Seperti
Pegar milik bapakau yang boleh menabur benih padi, membaja, meracun dll. Cenderawasihku tak canggih sangat ciptaannya. Dia cuma boleh tolong aku pergi beli barang di kedai saja.” Aku mencipta alasan.
“Aku hanya hendak memilikinya. Bukannya nak suruh dia ke kedai beli barang! Sebab aku rasa Cenderawasih ni sangat istimewa. Dan tidak seperti kebanyakan drone yang berlambak di pasaran.”
“Aku pun rasa begitu. Sebab itu aku tidak akan jualkannya pada kau walau trillion RM kau sanggup bayar. Maafkan aku, Amil.”
“Kalau begitu kata kau, tidak mengapalah. Tapi kalau berubah fikiran, cepat beritahu aku!”
Aku berdiam diri. Mengangguk pun tidak.
“Aku balik dulu ya! Assalamualaikum!”

Amil melonjakkan diri ke atas pelana kuda terbang setelah menyalamiku. Kudanya membawa terbang tinggi menuju destinasinya. Mesti mahal harga kuda terbang itu menurut perkiraanku. Dan aku tidak mampu memesannya untuk dibeli daripada Shopee. Aku berangan-angan juga hendak memilikinya setelah aku kaya nanti.
Cenderawasih tiba-tiba melayah turun saat aku tercari-cari keberadaannya.
“Kau ke mana, Asih?”
“Ada. Di atas pucuk pukul lima tu. Sembunyi diri daripada pandangan anak Ketua Desa. Aku tidak gemar dia suka membelai-belai aku sambil memuji-muji kecantikanku. Aku rasa, Bos pun tidak suka dia belai aku begitu.”
“Hmm. Tahu pun. Aku bimbang dia akan mencuri kau daripada aku. Sebab dia minat sangat dengan kau.”
“Tapi aku tidak suka dimiliki. Aku akan berkhidmat kepada sesiapa yang aku suka dan percaya hati budinya.”
“Demi menjaga keselamatan kau, jom ikut aku pulang ke kampung menyambut raya. Bimbang pula nak tinggalkan kau sendirian di rumah.”
“Tak mengapa. Aku tahu menjaga diriku. Tapi, bila Bos nak balik kampung sambut raya?”
“Esok. Raya kan lusa.”
“Esok dah raya Bos. Di atas langit, aku lihat sudah muncul bulan sabit. Cuma samar, belum cukup sifatnya. Aku rasa malam ni sifat bulan sabit akan sempurna. Dan esok tentu raya.”
“Iyakah? Baik aku bagi tau mak! Mak!”
“Cepat berkemas. Ayah ajak kita balik kampung sekejap lagi. Tak jadi nak balik
esok.” Mungkin ayah juga tahu esok sudah raya. Bukan lusa.”

“Asih jaga rumah ya! Kau jangan ke mana-mana!” aku berpesan.
“Baik. Bos! Tapi aku hendak terbang ke kayangan sekejap!“
Setelah seminggu beraya di kampung, aku terasa tidak sabar hendak pulang bertemu Cenderawasih. Kalut aku mencarinya.Tidak kutemuinya dipersekitaran rumah.
Apakah Asih pulang ke kayangan? Atau Amil telah mencurinya? Seseorang menyapaku.
“Hai Bos!”
“Kau siapa. Kau tahu di mana Cenderawasih?”
Gadis secantik bidadari kayangan itu tersenyum manis.
“Akulah Asih Bos!” aku termangu-mangu. Boleh percayakah?

4

Lelaki Sempurna, Perempuan Cantik dan Makhluk Asing

Oleh: Husairi Hussin

Kemalangan itu sangat dahsyat. Ketiga-tiga buah kenderaan remuk. Asap nipis kelihatan pada bahagian enjin kereta pacuan empat roda itu. Bahagian hadapan ketiga-tiga buah kereta itu remuk. Kemalangan itu berlaku di simpang tiga lampu isyarat. Jika difikirkan agak mustahil boleh berlaku. Lampu yang berwarna merah, kuning dan hijau itu berfungsi dengan baik. Inikah yang dikatakan sudah suratan? Ya, takdir!

    Sebuah lori yang sarat muatan ayam berhenti tidak jauh daripada tempat kejadian itu. Pemandunya berlari-lari anak untuk melihat kemalangan itu. Namun dia berhenti dan berdiri pada jarak 30 meter. Asap nipis yang memenuhi ruang udara dari enjin kereta pacuan empat roda itu menghentikan langkahnya. Dia masih teragak-agak sama ada untuk terus melihat keadaan pemandu-pemandu kenderaan tersebut. Kupuan asap itu sudah pasti boleh menjadi punca kepada nyalaan api lalu terbakar dan menyebabkan letupan. 

Huh, hatinya mula bimbang! Dia hanya menijau-ninjau dari kejauhan. Nalurinya bergetar-getar untuk mengetahui keadaan pemandu-pemandu kenderaan itu.

Sejurus kemudian sebuah kereta sport berhenti di tepi jalan berhampiran dengan lori itu. Keretanya diparkir bertenggek di bahu jalan. Pemandu kereta itu berjalan agak laju menghampiri pemandu lori. Langkahnya juga terhenti di situ. Asap yang menyelubungi sekitar kenderaan itu menjadikan lelaki itu agak rasional untuk tidak membuta tuli menghampiri kenderaan yang belaga itu.

    “Encik, dah telefon 999 ke?” Lelaki itu terus bertanya kepada pemandu lori. Kalut-kalut untuk mengetahui. Telefon bimbitnya dikeluarkan dari saku blazernya. Mata mereka bertentangan lama.

    “Ya, sudah! Tapi biasalah … mesti lambat bantuan akan sampai. Saya dimaklumkan bahawa mereka akan menghubungi pihak-pihak yang bertanggungjawab di sekitar tempat ini untuk segera datang membantu. Kawasan ini agak terpencil. Hanya ada pekan kecil.” Sangat jelas keterangannya. Pemandu lori itu seolah-olah sudah mengetahui segala prosedur itu.

    “Kalau tak bagi tahu ada kematian, kesesakan lalu lintas yang teruk atau kenderaan menghalang jalan pasti mereka akan lebih berlambat-lambat untuk datang ke tempat kejadian kemalangan.” Lelaki itu seolah-olah kecewa. Dia seolah-olah perlu segera melalui jalan itu. Ketiga-tiga kenderaan itu telah menghalang laluan.

“Lampu isyarat ini berfungsi dengan elok. Tak kan pemandu-pemandu itu tidak nampak antara satu sama lain. Tak ada kesan brek langsung … macam sengaja untuk berlanggar sahaja.” Pemandu lori itu seperti sedang berfikir sesuatu. Dia meluahkan segala keraguannya.

    “Kereta terbang ini … belaga di atas kemudian jatuh ke bawah.” Pemandu kereta sport itu serius memberitahu.

    Pemandu lori itu hanya memerhati raut wajah dan cara gaya pemandu kereta sport itu. Dia agak sangsi dengan kata-kata itu. Lelaki itu sangat bergaya penampilannya. Siap lengkap memakai blazer. Pada pukul 3.00 pagi sebegini, tak kan baru pulang daripada tempat kerja. Eh, jalan ini penghujungnya lautan! Kereta lelaki itu datang dari arah lautan tersebut.

Berhampiran laut itu terdapat sebuah pekan kecil dan pantai yang sangat cantik. Pemandu lori itu terus mencongak. Pelbagai persoalan mula menujah kepala otaknya. Dia akan setiap minggu ke pekan itu untuk menghantar makanan seperti beras, gula, tepung, daging, ayam dan juga sayuran serta makanan lain. Ada kalanya seminggu sampai tiga kali dia akan datang ke pekan kecil. Memang itu pekerjaannya sebagai pemandu lori untuk menghantar segala keperluan yang minta oleh pelanggan.

    Berhampiran dengan pekan itu terdapat sebuah pantai yang sangat cantik. Air laut yang jernih dan pasir pantai yang memutih. Tempat itu seperti sebuah permata yang tersembunyi. Ramai yang tahu tentang kewujudan tempat peranginan itu. Tetapi tidak ramai yang mahu mengunjungi pantai itu. Hanya para wisata yang berhati cekal dan berani sahaja yang datang. Tempat itu sering ditular dan dilaporkan berlaku kejadian yang pelik. Cerita yang paling hangat diperkatakan tentulah kemunculan objek pelik dari dalam lautan. Rentetan itu ada cerita-cerita dari mulut ke mulut tentang kehilangan nelayan dan juga pengunjung yang bermandi-manda di laut itu. Sekali-sekala ada juga para pengunjung yang melepak di pantai itu melihat cahaya-cahaya yang berterbangan di udara.

    “Kereta terbang ….” pemandu lori itu seperti tidak percaya.

    Lelaki itu mengangguk sambil tersenyum. “Oh, nama saya Ren!” Pemandu kereta Sport itu menghulurkan tangan untuk bersalaman dengan pemandu lori itu.

    “Ya, saya Abu!” dia menyambut mesra salam Ren.

    Sudah lebih 30 minit mereka berdiri dari jarak 30 meter itu. Dingin suasana pagi semakin mencengkam. Abu yang memakan baju T lengan pendek berwarna putih itu memeluk diri untuk menghangatkan tubuhnya.

    “Saya rasa lebih elok kita pergi tengok keadaan pemandu-pemandu kereta itu dahulu. Kalau nak meletup dah lama berlakukan. Asap itu pun dah semakin kurang.” Ren beria-ria mengajak untuk segera ke tempat kejadian.

    “Betul itu, mari kita tengok jika boleh bantu apa-apa yang patut. Nak harap pihak polis dan ambulans, tidak pasti bila akan sampai? Dah lama kita tercongok dekat sini. Sejuk ini ….” Abu yang terlebih dahulu melangkah menuju ke arah tempat kemalangan itu.

    Mereka memerhati sekitar tempat kejadian kemalangan itu. Dengan diterangi lampu jalan di persimpangan lampu isyarat itu, mereka memerhati dengan tekun. Abu bergerak ke arah kereta mewah yang pemandunya adalah seorang perempuan. Memang sah tiada sebarang kesan tayar di permukaan jalan raya. Serpihan daripada kenderaan-kenderaan itu berselerak seperti dicampak dari udara. Abu mula berasa seram sejuk. Biar betul kereta ini belaga di atas dan jatuh ke bawah sini?

    “Perempuan ini sangat cantik. Cuma kecederaannya agak parah. Ada beberapa kesan kecederaan di seluruh badan. Eh, dia masih bernafas!” Abu melaung dari arah kereta mewah yang dipandu oleh seorang perempuan. 

Ren hanya mengangguk. Kemudian dia berlalu mendekati kereta pacuan empat roda. Dia masih berhati-hati kerana punca asap adalah daripada kenderaan itu. Jika berlaku letupan pasti dia akan turut sama menjadi mangsa.

    Abu juga sudah menghampiri Den. “Lelaki di dalam kereta pacuan empat roda ini juga masih bernafas. Lelaki itu sangat sempurna. Tiada sebarang kecederaan. Barangkali terhantuk sebab itu tidak sedarkan diri.” Dia memaklumkan tentang penelitiannya.

Mereka sama-sama bergerak ke arah kereta yang terakhir. Sebuah kereta MPV. “His, cecair apa ini? Abu cuba untuk menyentuh dengan jarinya. Tetapi dihalang oleh Ren. “Tempat kejadian tidak boleh diusik. Jangan ganggu bahan bukti.” Ada senyum pada wajah Ren. Dia menghulurkan pen kepada Abu. Abu menyambutnya kemudian menyentuh cecair itu.

“Warna putih … bau macam darah. Eh, tak kan darah warna putih macam air ini.” Keraguannya semakin mendalam.

“Makhluk asing itu.” Ren serius memberitahu.

“His, darah makhluk asing warna hijau lah!” Abu memberitahu. Dia semakin resah. Dia juga perasan lambang pada pen yang dipegangnya sama seperti semua lambang pada stereng kenderaan itu sama. Sepajang 20 tahun dia menjadi pemandu lori profesional dan bermaharaja di atas jalan raya yang agak teruk di Malaysia ini, tidak pernah sesekali pun bertemu dengan kereta yang berlambang sebegitu. Fikirannya mula berserabut dengan pelbagai persoalan yang karut. Logo itu kelihatan seperti sebiji mata yang dilingkungi oleh bulatan.

“Darah hijau itu Cuma dalam filem ….” Ren menafikannya.

Abu pura-pura ketawa. “Ya, makhluk asing hanya ada di Amerika. Setakat ini belum tiba di negara kita.” Hatinya semakin kecut dan gelisah. Hanya Tuhan sahaja yang mengetahu segala debar dan kacau-bilau dalam dadanya. Seboleh-bolehnya dia mahu segera meninggalkan tempat kejadian itu.

Ren tidak bersuara. Dia hanya memerhati ke udara seperti mencari sesuatu. Sekali lagi Ren melihat telefon bimbitnya. Tiba-tiba dari kejauhan terdapat sebuah cahaya yang menuju ke arah mereka. Abu bergerak menghampiri Ren. Sama-sama memandang ke arah punca cahaya itu. Mereka sabar menunggu cahaya itu tiba.

“Assalamualaikum.” Lelaki yang berserban melompat turun daripada basikalnya. Basikal itu model lama yang sudah tiada di atas jalan raya lagi. Basikal tua. Jika ada pun hanya dijadikan pameran atau perhiasan. Namun basikal tua itu kelihatan baharu, juga terpamer logo yang sama seperti kenderaan yang berlaga itu. Abu kecut perut.

Abu menjawab dengan penuh sopan sambil memerhati cara gaya lelaki tua itu. Ren hanya mengangguk sebagai tanda menjawab salam lelaki tua itu.

“Pak hajikah yang dihantar untuk melihat kemalangan ini? Abu serius. Dia memang berharap akan segera persoalan di minda terjawab. Perkara tentang kereta terbang dan makhluk asing sedang berlegar di dalam pemikirannya. Kepala semakin serabut.

“His, saya nak ke masjid. Pagi inikan hari Jumaat ….” Pak haji itu tersenyum menjawab pertanyaan Abu.

“Masih awal lagi ini pak haji ….” Abu mempersoalkan. Serentak dengan itu terdengar laungan suara seseorang membaca al-Quran melalui pembesar suara. Alunan itu bergema di udara.

    “Mana ada awal lagi … dah dekat nak masuk waktu subuh ini.” Pak haji menjelaskan.

    Serentak dengan laungan mengaji itu mereka juga terdengar bunyi siren dan kelihatan lampu berwarna merah dan biru yang berkelip-kelip pantas menuju ke arah mereka. “Hah, bantuan sudah tiba itu. Bolehlah kita segera berlalu dari sini.” Lekas-lekas Abu memberitahu. Ren dan pak haji hanya mengangguk.

    Angin bertiup perlahan. Suasana semakin dingin. Sunyi pagi yang tenang seolah-olah telah diragut oleh keriuhan bunyi siren kenderaan yang sedang menghampiri mereka. Sebuah kereta polis dan sebuah ambulans berhenti berdekatan dengan tempat kemalangan. Pemandu ambulans dan pegawai perubatan itu terus bergegas melihat mangsa-mangsa kemalangan. Pemandu kereta polis itu pula berlegar-legar di sekitar tempat kejadian seolah-olah mencari sesuatu. Manakala salah seorang pegawai polis itu terus menghampiri mereka bertiga.

    “Siapa yang telefon 999 tadi?” Pegawai polis itu bertanya.

    “Saya ….” ringkas daripada Abu. Pegawai polis itu terus menghampiri Abu untuk meminta beberapa keterangan.

    “Siapa yang perlu diselamatkan ini?” pegawai perubatan melaung bertanya.

    Mereka bertiga saling berpandangan.

    “Lelaki sempurna di dalam kereta MPV itu. Lelaki itu tiada sebarang kecederaan. Hanya pengsan.” Abu bersuara.

    “Makhluk asing itu penting untuk diselamatkan. Tentu berharga untuk negara. Boleh dilakukan kajian demi manfaat negara pada masa hadapan.” Ren berhujah. Bersungguh-sungguh dia mahu lelaki yang berdarah putih itu diselamatkan.

    “Lebih baik perempuan cantik itu….” Pak haji senyum memberi tahu.

    “Perempuan itu cedera parah. Jika sembuh atau dapat diselamatkan nanti pasti ada kecacatan. Malah perlukan banyak masa untuk rawatan dan sembuh semula seperti sedia kala.” Abu cuba menjelaskan rasional dia mahukan lelaki yang sempurna itu diselamatkan.

    “Ya, betul itu! Tak berguna lagi untuk diselamatkan. Tentu banyak wang terbuang hanya kerana seorang perempuan.” Ren juga memberi pendapatnya.

    “Tak payah buang masa selamatkan lelaki dan makhluk itu. Mana ada lelaki sempurna di dunia ini? Makhluk asing juga tidak wujud. Hanya riuh di Amerika sahaja. Tetapi perempuan yang cantik itu semua kita akuikan?” Serius pak haji menjelaskan. Dia memandang ke kaki langit. Bilah-bilah cahaya fajar sudah mula kelihatan. Waktu solat subuh sudah hampir. Dia menuntun basikalnya untuk berlalu pergi. Kemudian dia mula menaiki basikal untuk menghala ke arah pembesar suara yang sedang mengaji itu.

    Tiba-tiba lampu suluh yang berada di tangan pak haji terjatuh. Lampu suluh itu mula bergetar perlahan-lahan kemudian semakin laju lalu terangkat ke udara. Cahaya yang kecil itu semakin membesar dan menerangi seluruh kawasan itu. Semua orang yang berada di kawasan itu mula membeku dan terus hilang bersama cahaya lampu yang terang benderang itu.

    Perempuan cantik itu tersedar. Dia menghidupkan kenderaannya. Lama dia berfikir seperti baharu tersedar daripada lena yang panjang. Perlahan-lahan dia menarik pedal gear keretanya ke huruf F. Sambil menekan pedal minyak dia memerhati lampu isyarat bertukar warna. Daripada warna merah lampu itu bertukar hijau. Tidak lama kemudian lampu hijau itu menjadi biru dan kereta yang dipandu oleh perempuan itu pun meluncur deras di udara.

KEPUTUSAN

Kami masih menunggu keputusan dari para pengadil. Mohon bersabar.

TAMAT.