(Bersama Abdullah)
di negeri para Nabi matahari seolah tak menghitung hari Sebab kemarin sama saja dengan kini
Ramadhan lalu nyaris tak ubahnya hari ini
Semacam bunga kehilangan mekar
Semacam badai kehilangan angin
Semacam gelombang kehabisan pantai
Semacam tawa kehabisan riang.
Abdullah lelaki 75 tahun duduk di pojok pelataran Masjidil Aqsha
Dadanya dikoyak sepi
Matanya taman basah bermekaran bunga air mata
Lima puluh tahun silam tiga putra dan istri tercinta hilang dihantam bom
Jadi butiran debu, jadi hembusan bayu
Jadi buliran air mata yang tak habis ditelan waktu.
Thariq putra sulungnya, gagah dengan ketapel di tangannya
Sejak umur 7 tahun sampai remaja
Melawan tembakan tank dengan kerikil seadanya
“Ini adalah kerikil yang dibawa ababil saat memusnahkan
Abrahah yang pongah
Tentara gajah terbakar jadi arang memesrai tanah bagai daun kering luruh ditiup angin”
Ucapnya sambil bernada petir
Bibirnya merona merah geletar.
Syaifullah putra keduanya, bagai singa kembar bersama kakaknya
Setiap kerikil yang dilontarkan ketapelnya
Ada takbir membelah angkasa
dari bibir keduanya kerap nada hizib leluhurnya.
Thariq, Syaifullah dua singa seharian berkelahi memadamkan matahari
di leher mereka ketapel melingkar setia
Sebagai lencana dan tiket surga.
Zainab putri sulungnya,
Matanya cerlang bagai mata ibunya
Senyumnya melumat habis bianglala
Mereka berdua riang membawa kado berbuka Langkah mereka bagai anai-anai merambat cahaya Gamis mereka bagai arakan awan di angkasa.
di meja berbuka, mereka menunggu Abdullah datang Meski adzan sekian menit telah menjelang
Inilah kesetiaan diajarkan moyang.
Abdullah berjarak 100 meter dari rumah
di bibirnya senyum merekah
di tangannya sebungkus kebab basah
di dadanya ranum rindu buat anak istri di rumah. Langkahnya terpenggal, matanya merekam tanya
Saat roket bagai komet melesat menghantam rumah
Warisan leluhurnya bagai randu kering berhamburan disapu badai
Tak ada sisa, segalanya jadi kepulan debu
Hanya zikir cakrawala riuh di angkasa
Hanya zikir rindu kelelawar memecah mega.
Angin sore ini seolah sama
Dari roket membelah langit
Cahaya kuning emas memantul cemas.
Abdullah sejak puluhan ramadhan lalu
Selalu saja berbuka puasa dengan do’a dan air mata.
Oleh:

Dimas Midzi.
Darusa Sumenep, 13-04-2018
TAMAT.